Bagaimana Joko Pinurbo Menghidangkan Puisi dan Bagaimana Saya Menyerahkan Diri Puisi Saya Direvisi

Adam A. Abednego
5 min readApr 30, 2020

--

Joko Pinurbo membuka lokakarya “Perjamuan Khong Guan: Bagaimana Puisi Dihidangkan” oleh Patjarmerah dengan mengutip kata-kata dari Mario F. Lawi — kurang lebih bunyinya seperti ini: Puisi telah mengalami pergeseran maksud, karena puisi telah melebur ke dalam bentuk-bentuk karya dan teknologi baru yang kian menyeruak; audio visual, musik, juga seni rupa. Sehingga membuat puisi tidak lagi menjadi tuan di rumahnya sendiri.

Mendengar itu sontak saya mengangguk dan bergumam dalam hati, iya juga ya. Sekarang, puisi hanya sekadar menjadi topping tambahan, bahkan ketika ia semestinya menjadi tokoh utama dalam sebuah cerita. Tidak ada yang salah meleburkan puisi ke dalam bentuk-bentuk seni lainnya, asalkan tidak menjadikannya sebagai “juruselamat” dari puisi itu sendiri. Apapun bentuknya, puisi mesti mampu menggugah rasa dan gairah meskipun ia hanya berdiri sendiri.

Tetapi tulisan ini bukan untuk membahas peleburan dan perubahan makna, atau mengkritisi bentuk baru dari puisi modern. Melainkan bagaimana seorang Joko Pinurbo menghidangkan puisi-puisinya. Bagaimana ia menunaikan ibadah puisi di bulan puasa di tengah-tengah pandemi.

Tetapi saya rasa kalimat di atas sangat tepat menjadi hidangan pembuka di perjamuan kali ini.

Di babak awal, Jokpin bercerita dan membacakan sedikit sebuah arsip berita tahun 1977 degan judul Copet Se-jawa Musyawarah di Bandung. Ia sangat tertarik pada berita tersebut karena tutur dan gaya tulisannya yang tidak seperti berita pada umumnya, melainkan seperti sebuah cerita pendek. Ia ingin menyampaikan bahwa berita saja dapat dihidangkan sebegitu menariknya, puisi harus bisa lebih dari pada itu. Sila membaca arsip berita tersebut di Instagram Jokpin — setelah membaca pasti kau tahu mengapa Jokpin bisa mengatakan hal demikian.

Selanjutnya, ia mencontohkan salah satu puisi kaya makna yang sempat ia baca karya Beni Satryo, tentang memasak kuah Indomie menggunakan air wudhu (saya belum menemukan keseluruhan bait puisinya, bisa dicari tahu dengan membeli bukunya ya.). Jokpin menyampaikan bahwa itu adalah bentuk puisi yang sangat luar biasa dan memang begitulah semestinya puisi bekerja. Di tengah perjamuan, ia menghidangkan puisi Chairil Anwar dengan judul Yang Terhempas dan Yang Terputus. Ia membedah satu per satu bait dan juga kata yang digunakan Chairil bak seorang dokter ahli. Saya sendiri takjub bagaimana ia mampu begitu luwesnya mempreteli puisi Chairil seolah ia sendiri hadir ketika Chairil menulis puisi tersebut.

Di babak akhir lokakarya, Jokpin mempersilakan para peserta untuk bertanya dan juga membacakan puisi untuk ia komentari dan sunting secara langsung. Awalnya saya takut dan malu membacakan puisi di depan seorang Joko Pinurbo — bagaimana kalau puisi saya ini ternyata sampah? Bermodalkan nekat, saya membacakan salah satu tulisan saya di detik-detik terakhir sesi perjamuan tersebut. Saya sangat takjub bagaimana ia mampu menyunting karya dengan begitu cepat dan tepat. Saya sangat yakin Jokpin ini selalu sarapan dengan menulis puisi — sembari ditemani kaleng Khong Guan tentu saja.

Ini puisi yang saya bacakan:

Percakapan yang Bersengketa

Kau pernah bilang, kelak kau tidak mau menjadi seorang Ibu seperti Ibumu sekarang. Kau akan memberikan kebebasan kepada anak-anakmu — memilih pacar pertamanya, memilih agamanya, juga memilih untuk mematahkan hatinya sendiri. Tetapi kau lupa kalau kebebasan itu serupa tombak yang tumpul. Dalam peperangan, ia tidak akan digunakan sebelum diasah dengan fakta-fakta serta kebenaran. Masalahnya, kebenaran sekarang semakin susah ditemukan oleh sebab orang-orang lebih suka memilih sesuatu asalkan tidak sendirian. Mereka menang dalam pertempuran, namun kalah berperang. Kebebasan juga seperti langit yang luas dan langit kita sekarang sedang mendung. Awan mengutuk lautan yang senantiasa mengisi uap penuh harap karena tidak diberi kesempatan untuk memahami dirinya sendiri. Menurut ramalan, hujan tidak akan turun hingga kita berpisah nanti.

Pokoknya, aku akan menjadi Ibu yang memberikan kebebasan penuh untuk anak-anakku kelak.” Kau bersikeras. Lima detik berlalu, aku mengangguk tanda setuju.

Kemudian hujan turun terburu-buru.

Dalam hitungan sepersekian detik di jeda ia membuka mulut setelah saya selesai membaca, saya mampu merasakan detak jantung saya begitu kencang (tidak sekencang genderang mau perang, sih). Saya lupa persis apa yang ia katakan, sebab pada detik itu juga saya senang dan takut bukan main. Pokoknya ia berkata bahwa ia menyukai puisi saya, selain karena gaya bahasanya yang menurut ia baru, ia berkata gong-nya juga pas. Sebelum itu ia juga sempat berucap bahwa sebuah puisi itu tidak perlu berlebihan, layaknya gula, ya digunakan secukupnya saja. Kalau terlalu banyak kata-kata manis dalam puisi malah justru membuat pembaca jadi enek. Tidak perlu menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat yang tidak perlu hanya untuk mempercantik puisi. Semuanya harus pas. Namun, ada catatan dari Jokpin tentang puisi saya. Ia berkata bahwa kalimat-kalimat di tengah puisi bisa dicatut tanpa menghilangkan makna dari puisi tersebut. Di bagian tengah puisi saya terlalu berbelit-belit hanya untuk memperindah tetapi tidak ada hubungannya dengan “jalan cerita” dari puisi itu sendiri. Setelah saya baca kembali, memang benar apa yang dikatakan Jokpin. Saya termasuk orang yang kadang terlalu memikirkan kata-kata indah apalagi yang bisa saya tulis untuk mempercantik puisi. Alih-alih menyampaikan makna yang menancap, ia malah berkelok-kelok ke antah berantah dan terlambat sampai ke tujuan para pembaca. Sebenarnya ada tambahan lagi dari Jokpin, yaitu judul yang tidak begitu menggigit. Tetapi ia juga berkata memang sangat sulit menemukan judul yang tepat, karena ia sendiri sampai hari ini masih kesulitan dalam menentukan judul.

Selesai kelas, saya mencoba menerapkan apa yang dikatakan Jokpin dengan memangkas beberapa kalimat dalam puisi saya tersebut, hasilnya seperti ini:

Percakapan yang Bersengketa

Kau pernah bilang, kelak kau tidak mau menjadi seorang Ibu seperti Ibumu sekarang. Kau akan memberikan kebebasan kepada anak-anakmu — memilih pacar pertamanya, memilih agamanya, juga memilih untuk mematahkan hatinya sendiri. Tetapi kau lupa kalau kebebasan itu serupa langit yang luas dan langit kita sekarang sedang mendung. Awan mengutuk lautan yang senantiasa mengisi uap penuh harap karena tidak diberi kesempatan untuk memahami dirinya sendiri. Menurut ramalan, hujan tidak akan turun hingga kita berpisah nanti.

Pokoknya, aku akan menjadi Ibu yang memberikan kebebasan penuh untuk anak-anakku kelak.” Kau bersikeras. Lima detik berlalu, aku mengangguk tanda setuju.

Kemudian hujan turun terburu-buru.

Saya sangat menyukai hasilnya. Tidak berbelit-belit dan pas. Begitulah bagaimana puisi dihidangkan dan bagaimana saya mengikhlaskan puisi saya direvisi seorang Joko Pinurbo. Sebuah privilese yang jarang-jarang bisa dinikmati oleh penulis amatir seperti saya.

Belajar satu hal lagi hari itu dan saya seperti menerima dorongan luar biasa untuk tetap menulis dan mengembangkan gaya penulisan saya sendiri.

Selamat menunaikan ibadah puisi.

--

--