Belakangan Aku Sering Lupa

Adam A. Abednego
2 min readFeb 16, 2024

--

Photo by Miltiadis Fragkidis on Unsplash

Belakangan aku sering lupa.

Kalau mencintai adalah kumpulan bantal yang dijauhi mimpi buruk & kantuk yang menyerah ketika lampu kamar enggan dipadamkan oleh suara di balik telepon.

Aku akan mencintai sekali lagi, bisiknya. Namun, sekali lagi adalah kata-kata yang tidak berhenti membelah diri. Aku membeli tiket pesawat menuju masa lalu, berhenti di antara semburat rambut & lesung pipi.

Sebab, mencintai — & dicintai — adalah penderitaan yang ditunda kedatangannya. Aku terlambat berangkat ke bandara.

Belakangan aku sering lupa.

Jika tembok kamar tidak pernah lelah menjadi saksi ketika Musa kembali membelah lautan di kedua mataku yang kering. Ia mengagumi warna-warni harapan yang mati seketika diburu sepi. Tidak ada yang datang melayat. Para pengkhianat begitu membenci harapan dibanding dirinya sendiri.

Tembok kamar bercerita kepada sarung bantal yang basah. Sarung bantal bertanya kepada selimut: apakah kau baik-baik saja? Selimut tersenyum & diam & sedih & menjawab dengan menjadi hangat bagi tangan & kaki & hati yang selalu dingin. Ia mengerti tanpa perlu banyak tetapi.

Belakangan aku sering lupa.

Ketika wastafel mencuci dirinya sendiri hingga penuh & tidak sanggup menyerap air mata yang habis & dipakai untuk membersihkan nama-nama & tempat-tempat yang tinggal di masa lampau. Nama-nama & tempat-tempat itu tidak akan hilang meski kepalaku menyediakan begitu banyak tong sampah. Nama-nama & tempat-tempat menjelma ingatan. Kenangan menjelma apa saja, kecuali damai di dada.

Seisi kamar berisi masa lalu & botol-botol & bungkus rokok & hitam. Aku mencintai hitam sebab hitam telah mencintai diriku terlebih dahulu. Ruangan ini adalah suasana hati & suasana hati selalu tepat waktu untuk menyakiti & mematahkan diri sendiri.

Air mati. Aku lupa membayar tagihan bulan ini.

Belakangan aku sering lupa.

Negara meremas & merampas kebenaran & menjualnya dengan pajak lebih tinggi untuk kembali memeras & menghempas diri sendiri. Seperti puisi menyerang siapa saja yang sedang patah hati, tetapi buku-buku & puisi-puisi tahu bagaimana cara menunggu. Negara cuma berhasil memaksa kita bersuara & lalu membungkam dengan kalimat berakhiran ‘harga mati’ di belakangnya.

Hari ini & besok aku bekerja. Tanggal merahku dihapus negara untuk tetap bekerja. Sebab, libur adalah kata kerja. Dalam diriku ada pekerja yang cuma menghasilkan kata-kata ketika nyeri & lara bergantian menunggu giliran kerja.

Negara & patah hati: aku tahu mana yang harus lebih kucintai.

Belakangan aku pura-pura lupa.

Kalau ibu pernah berkata: maaf adalah bentuk pengorbanan abadi.

Tetapi apakah kesedihan membutuhkan maaf? Ia cuma butuh tiga sloki tequila & — mungkin — maaf di esok hari.

Aku bertanya kepada ibu: mengapa orang-orang bisa hidup dengan hati yang mati?

Aku bertanya sekali lagi: apakah orang-orang yang hatinya mati hidup dengan membunuh hati-hati yang hidup?

Ibu diam & kosong & mati. Ibu mencintaiku dengan segala sesuatu yang kubenci. Ibu adalah api. Aku sisa abu ketika ia membakar dirinya sendiri.

--

--