Butuh Banyak Latihan untuk Bijak Mengambil Keputusan

Adam A. Abednego
3 min readMar 13, 2021

--

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Menjadi Manusia Zine Vol. 4: Bijaksini Bijaksana pada tanggal 27 September 2020

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Beberapa tahun lalu saya mengajak pacar saya (sekarang mantan) untuk makan malam di salah satu restoran steak ternama di bilangan Jakarta. Tidak lama setelah kami duduk, seorang pelayan datang menanyakan apa yang hendak kami makan. Kami memesan rib-eye & sirloin steak dengan tumis sayur bayam sebagai side dish. Makanan datang dan kami menyantap bersama. Setelah menyuap 3 potongan pertama, tiba-tiba pacar saya setengah berteriak. Sontak saya kaget, ternyata ia menemukan ulat di sayur bayamnya. Ia panik, saya mencoba tenang dan segera memanggil pelayan. Manajer dan pelayan dari restoran tersebut meminta maaf dan segera mengganti makanan kami.

Dalam kesempatan yang berbeda, saya sedang berkumpul bersama teman lama di salah satu restoran oriental. Tidak jauh dari meja tempat kami makan, ada satu keluarga besar, sekitar 10 orang duduk melingkar sembari memilih-milih makanan & minuman yang ingin dipesan. Saat sedang asyik mengobrol dengan teman-teman saya, tiba-tiba ada keributan dari meja tersebut, rupanya salah satu dari mereka menemukan serangga di makanan yang mereka pesan. Hampir seluruh dari mereka marah-marah dan berteriak ke pelayan dan manajer dari restoran tersebut, kecuali anak-anak kecil masih seru memainkan gawai mereka. Kericuhan tersebut membuat seisi restoran menjadi kikuk dan seluruh perhatian tertuju pada meja tersebut. Meski orang-orang yang bertanggung jawab menyiapkan makanan sudah meminta maaf, mereka tetap mencak-mencak minta ganti rugi dan berakhir melengos pergi ke luar restoran.

Situasi dari dua cerita di atas kurang lebih sama, tetapi memiliki hasil akhir yang berbeda. Di cerita pertama, pacar saya sempat kesal dan bertanya, “Kok kamu nggak marah? Itu kan jorok banget. Kalau nggak dimarahin nanti mereka nggak kapok.” Saya yakin koki dari restoran tersebut tidak bermaksud membiarkan ulat di tumis bayam yang kami makan, mereka cuma kurang teliti. Saya rasa menegur secara langsung sudah cukup dan mengingatkan untuk lebih teliti lagi kedepannya. Saya merasa jika memerangi sesuatu dengan kemarahan, hanya akan berakhir dengan penuh penyesalan. Sebab, di masa lalu, saya beberapa kali marah dalam kondisi tertentu, hasilnya, saya selalu menyesal.

Seorang psikolog ternama, Daniel Kahneman, dalam bukunya yang berjudul Thinking, Fast and Slow menjelaskan bahwa ada dua sistem di otak yang bekerja sama pada saat kita ingin membuat atau mengambil keputusan:

Sistem pertama bertanggung jawab atas respons cepat dan otomatis. Misalnya, ketika kita diminta untuk melengkapi kalimat “surga ada di telapak kaki ______”, tidak perlu banyak waktu bagi kita untuk menjawab “ibu”. Itu adalah sistem pertama yang sedang bekerja. Di sisi lain, sistem kedua bertanggung jawab untuk pemecahan masalah yang lebih kompleks, seperti menyelesaikan rumus matematika, cara parkir paralel, atau bahkan mengambil pilihan sulit dalam hidup.

Setiap kali kita perlu membuat keputusan, sistem satu dan dua saling memengaruhi sehingga kita dapat melakukannya dengan lancar tanpa perlu usaha lebih. Namun, kita cenderung mengambil keputusan yang buruk jika energi atau mental kita terganggu. Ini sering terjadi ketika kita merasa kelelahan karena pekerjaan, tidur yang kurang berkualitas, atau terlalu banyak berpikir. Terkadang kita mengatakan hal-hal yang akan kita sesali nantinya ketika sedang diselimuti amarah, atau mengecewakan diri sendiri karena memilih pilihan yang buruk.

Mampu mengendalikan emosi sama dengan mampu membuat keputusan yang lebih baik. Membuat keputusan yang baik adalah sebuah kebijaksanaan. Sebab, saya merasa bahwa jika kita sulit dalam mengendalikan emosi, bukan hanya diri sendiri yang dirugikan, melainkan orang lain di sekitar kita. Menjadi bijaksana juga butuh banyak latihan, ia bukan kekuatan atau bakat dari lahir. Ketika dihadapkan dengan sebuah masalah, respons orang-orang sangat berbeda, anak kecil akan cenderung menangis atau ketakutan sedangkan orang dewasa bisa berpikir lebih jauh ke depan. Bijaksana juga bukan melulu dituntut sempurna atau selalu mengambil sisi positif dari setiap kejadian, tetapi membuat kita belajar untuk tidak mudah reaktif dalam situasi tertentu. Kita mesti melihat segala sesuatu dari kacamata yang berbeda, supaya pandangan kita tidak berdasarkan prasangka, agar kita tidak sekadar memercayai apa yang kita ingin percayai.

Nyatanya, bijaksana tidak hanya menguntungkan untuk kita sendiri, juga untuk sekitar kita. Misalnya ketika kita mampu mengambil keputusan yang memberikan dampak baik bagi orang lain — berguna bagi orang-orang sekitar. Namun, jika dirasa memberikan dampak cukup repot untuk kita, saya pikir dengan tidak merugikan orang lain juga sudah cukup bijaksana.

--

--