Menyelamati Diri Sendiri Sebelum Januari Kembali

Adam A. Abednego
8 min readDec 27, 2019

--

Photo by Danil Aksenov on Unsplash

Rasanya baru kemarin saya masuk sekolah dasar, bermain bola sepak ketika istirahat datang, mengunjungi warnet tiap pulang sekolah, hingga duduk berdua bersama sang kekasih menunggu ia dijemput orang tuanya ketika SMA. Sekarang usia saya sudah melewati seperempat abad. Kalau melihat ke belakang, banyak sekali hal-hal yang berubah di sekitar—serta yang tidak pernah berubah juga ada. Tidak jarang kita menemukan hal-hal yang tidak kita sukai, dan mengamini yang membuat kita bahagia. Apapun itu, segala yang ada mampu membuat kita semua tumbuh.

Ini adalah beberapa hal yang berhasil saya temukan di 2019, dari — saya yakin — ratusan bahkan ribuan pelajaran yang diterima selama setahun kebelakang, berikut merupakan sebagian kecil yang mampu saya syukuri:

1. Melawan Diri Sendiri

Awal tahun ini kali pertama saya berhasil melawan diri sendiri. Saya bukan termasuk dalam jajaran orang yang gemar mengambil resiko⁠ — keputusan yang diambil biasanya adalah hasil tumpukan kontemplasi berhari-hari, berbulan-bulan, hingga tahunan. Bahkan, saya merupakan tipikal orang yang suka kabur dari masalah. Saya lebih memilih bermain di lingkungan yang aman-aman saja. Tetapi tidak untuk tahun ini. Memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan penuh waktu, demi melanjutkan mimpi⁠ — pada waktu itu⁠ — yang jelas masih abu-abu merupakan keputusan terberat dan terbesar dalam hidup saya, bahkan sampai sekarang masih berpikir, kok berani-beraninya mengambil keputusan tersebut. But it was a leap of faith that changed my whole life.

Terkadang, yang kita butuhkan adalah sedikit dorongan untuk bisa memperluas zona nyaman. Bukan keluar. Iya, saya masih saklek dengan pemahaman untuk tidak keluar dari zona nyaman. Selain karena tidak mahir tentang resiko kegagalan, saya rasa kalau sudah nyaman untuk apa kita repot-repot keluar? Saya lebih memilih untuk mendorong sedikit demi sedikit batas zona nyaman selagi saya masih di dalamnya, prosesnya mungkin sedikit lebih lambat, tetapi untungnya saya sedang tidak terburu-buru.

Lalu, apakah keputusan tersebut tepat? Saya tidak tahu. Tapi yang saya percaya, apapun hasilnya nanti, saya belajar banyak hal dari sini. Meski selalu ada konsekuensi dari tiap aksi, semoga kita menemukan ketenangan dari tiap pengorbanan yang kita lakukan. Kalau tidak, toh kita mendapatkan pelajaran — sekalipun dari kegagalan.

2. Bercerita Tidak Menyelamatkanmu, Tetapi Mungkin Orang Lain

Dulu, saya sulit untuk berkomunikasi dengan orang baru. Saya sulit untuk mengungkapkan ide di suatu rapat. Saya sulit mengatakan ketidaksetujuan tentang sesuatu. Saya susah untuk mengutarakan apa yang saya rasakan. Saya juga membenci orang-orang banyak. Tahun ini, saya bertemu banyak orang, mendengarkan beberapa cerita mereka. Yang kadang saya sendiri tidak habis pikir, ternyata manusia-manusia ini banyak sekali ragamnya. Yang secara tidak sadar merubah pola pikir saya tentang manusia; bertemu orang baru ternyata seru. Sebagian dari cerita mereka sangat personal, yang kadang membuat saya kembali berpikir, kok mereka tidak takut bercerita tentang kegagalan di hidup mereka. Kemudian saya menemukan kutipan ini;

“There is use, I believe, in revealing personal stories and private moments as a stand-in for the universal private moments that all of us experience and wonder, “Is it just me?” A lot of the letters I get from readers saying, “Thank you for speaking for me.” If I’ve done it well — and sometimes I don’t, but when I do it well — I’ve told a story that could be anybody’s story. A story of heartbreak is anybody’s story. A story of illness is anybody’s story.”

- Deborah Copaken, wawancara oleh The New York Times.

Dari cerita mereka tentu saya belajar banyak hal. Bahwa kita tidak pernah sendirian. Bahwa apa yang kita pahami selama ini bisa saja salah. Bahwa yang selama ini kita percaya tidak sama dengan apa yang orang lain amini. Bahwa terlalu banyak celah untuk kita bisa menjadi sempurna. Bahwa tidak apa-apa untuk merasakan apa-apa⁠ — juga tidak merasakan apa-apa. Bahwa hidup tidak melulu tentang kita seorang. Dari pertemuan dengan banyak orang, saya sadar satu hal, bahwa ilmu dan pemahaman saya ternyata tidak seberapa. Dan saya mesti banyak belajar dari mereka.

Setiap hari saya belajar, ini adalah hari yang baik untuk tidak menjadi baik-baik saja. Dan semoga, dengan mendengarkan cerita, kita bisa sedikit menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Bercerita mungkin tidak akan menyelesaikan masalah kita — tidak akan menyelamatkan kita. Tetapi mungkin dengan bercerita, ada jiwa-jiwa di luar sana yang ikut merasakan apa yang dirasakan. Dalam kasus ini, cerita-cerita mereka menyelamatkan hidup saya.

3. Berhenti Mencoba Mengendalikan Semua Hal

Pernah merasa kalau orang lain tidak pernah bisa memenuhi ekspektasi kita? Kalau kinerja mereka tidak cukup bagus menurut kita? Atau ingin rasanya mengendalikan segala sesuatu yang ada di sekitar kita? Karena kita merasa bahwa segala sesuatu akan berjalan dengan baik kalau bisa kita kontrol? Kemudian mengeluh sendiri karena harus mengerjakan banyak hal? Sama.

Saya selalu ingin segala hal ada di kendali saya. Kalau ada sesuatu yang di luar kontrol, biasanya saya sebisa mungkin berusaha untuk mencari cara bagaimana agar bisa mengendalikan hal tersebut. Saya baru menyadari tahun ini kalau tidak semua hal bisa kita kontrol, kecuali diri kita sendiri.

Ayah saya pernah berkata kalau orang-orang punya hak untuk me-label-i kita apapun. Mereka berhak untuk melihat kita sebagai seseorang yang lemah, cengeng, bodoh, dan hal-hal buruk lainnya. Karena mungkin itu yang mereka lihat. Dan kita tidak bisa menyuruh mereka untuk melakukan atau melihat dari kacamata kita. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita terhadap orang lain. Kita selalu ingin mengendalikan pendapat orang, mengontrol hal-hal di luar diri kita. Kemudian kecewa karena tidak sesuai dengan harapan. Ya karena memang tidak ada yang bisa kita kendalikan, yang sepenuhnya bisa kita kuasai ya diri kita sendiri. Jadi, alih-alih berusaha menjadi ‘pengendali hidup orang’, saya lebih banyak mencoba belajar untuk mawas diri. Karena ketika kita mampu mengenali diri kita sendiri, batas hingga kapasitas yang kita miliki — kita telah berhasil menemukan kunci kehidupan. Semoga kita menemukan pintunya segera.

Dalam rapat tutup tahun kemarin, seorang rekan kerja berkata bahwa saya dulu adalah orang yang sangat rigid dan sekarang ia melihat bahwa saya sudah tidak seperti itu. Itu sangat menenangkan, karena artinya tahun ini saya berkembang.

Kita bertanggung jawab penuh atas apa yang kita pikirkan. Berhenti berusaha menjadi cenayang yang seolah tahu isi hati semua orang.

4. Tidak Ada yang Perlu Disalahkan

Saya selalu punya cara untuk menyalahkan orang, alih-alih mengakui kesalahan yang saya buat. Dulu. Saya sangat sulit untuk mengakui kesalahan, saya selalu mencari cara bagaimana agar tidak terlalu terlihat bersalah — dengan cara menyalahkan orang lain. Rasanya itu sifat alamiah saya, sehingga orang-orang di sekitar pun tidak menyadarinya. Tapi saya rasa ada beberapa dari mereka yang sadar juga.

Tahun ini saya belajar untuk lebih sadar — lebih mindful — lebih mawas diri, kalau salah ya minta maaf — karena saya juga orang yang sulit untuk minta maaf. Sebab, saya merasa minta maaf itu hanya diucapkan jika memang kita salah, sedangkan saya orang yang tidak mau disalahkan. Tahun ini saya berhasil mengutarakan kata maaf ke beberapa orang, karena memang saya yang salah sih. Rasanya sangat menyenangkan. Mengakui kesalahan ternyata sangat bikin kita tenang.

5. Berbuat Baik Dulu, Selalu

Tahun ini saya pertama kali menghadiri Ubud’s Writers & Readers Festival. Salah satu panel yang paling saya ingat adalah tentang Karma & Kindness. Membahas bagaimana cara karma bekerja dan tentang kebaikan yang bisa menular. Di akhir sesi, ada pertanyaan dari salah seorang peserta yang menarik perhatian saya, kurang lebih seperti ini:

“Sekarang ini banyak orang-orang yang melakukan kebaikan dengan maksud (pencitraan) supaya terlihat baik di mata orang, bagaimana menurut kalian?”

Dang, mendengar pertanyaan tersebut saya merasa terwakili. Sebab, sebagai orang yang skeptis & pesimis, saya selalu melihat segala sesuatu dari yang terburuknya terlebih dahulu. Tetapi justru jawaban dari salah satu panelis, Andy Craven-Griffiths, membuat saya jadi malu pada diri sendiri. Kurang lebih begini jawabannya:

“Mengapa kita tidak fokus pada hasilnya saja, alih-alih pada niat atau maksud mereka? Apapun maksud mereka dalam berbuat baik, kita mesti fokus pada efek yang dihasilkan. Siapa tahu ada beberapa pengikut mereka yang melihat hal tersebut, kemudian terinspirasi untuk melakukan hal baik juga.”

Seringnya, kita berprasangka buruk terhadap orang lain. Ah, si anu mah bikin ginian paling buat pencitraan doang. Ah, si ini mah di sosmed doang baik, aslinya mah nggak gitu. Si B mah pasti jadiin aktivisme buat jualan supaya pengikutnya makin banyak. Dan asumsi-asumsi buruk lainnya.

Di sini saya belajar untuk tidak melihat segala sesuatu dari intention seseorang. Karena, agenda tiap-tiap orang mungkin berbeda. Saya rasa — kebaikan — apapun bentuknya harus selalu bisa diapresiasi, karena selain menyenangkan, kita juga sedang menularkan ke banyak orang. Dibandingkan kita selalu berpikir yang tidak-tidak dan selalu curiga kepada semua orang, yang saya yakin sangat melelahkan dan merugikan diri kita sendiri juga, baiknya kita sedikit mengapresiasi niat baik dari orang-orang, tanpa mencurigai apa niat dan maksud mereka.

Mengutip kata-kata dari film animasi Klaus,

“A true selfless act always sparks another.”

6. Mengamini Perpisahan

Tidak melulu dari rasa bahagia, terkadang pelajaran sering muncul dalam wujud yang tidak kita suka — kesedihan misalnya. Pelajaran berharga biasanya datang ketika kita tidak sadar sedang menerimanya. Seperti sebuah perpisahan, yang selalu menjadi hal terburuk yang pernah manusia rasakan, walaupun dari kecil kita sudah diajarkan bahwa setiap pertemuan selalu ada perpisahan. Namun, ketika ia datang, justru kita seolah menolak menerima kenyataan.

Tahun ini adalah tahun pertama merayakan Natal sendirian — tanpa seorang kekasih, setelah beberapa Natal kebelakang selalu kami rayakan bersama, tidak mewah memang, mungkin hanya sekadar berkumpul dengan keluarga, makan malam sederhana, atau tukar kado seadanya. Tetapi, setelah hampir 4 tahun bersama, kami memutuskan berpisah. Itu semua biasa saja, sampai saya menemukan Mama saya menangis di hari Natal ketika diucapkan ‘Selamat Natal’ oleh mantan kekasih saya tersebut. Mungkin, karena biasanya kita selalu berlibur bersama, namun sekarang sudah tidak lagi, membuat Mama saya sedikit terbawa suasana. Seperti halnya gigi yang baru tanggal, lidah kita biasanya akan selalu mengarah pada kekosongan yang dibuatnya, begitu juga dengan kehilangan seseorang.

Dari situ saya baru menemukan bahwa hubungan yang kita jalani sekarang tidak kurang dari sama dengan sebuah investasi. Perasaan yang kita miliki bukan hanya sekadar rasa kepemilikan, tetapi jauh daripada itu, ia seperti luka-luka yang telah sembuh namun bekasnya tidak akan pernah hilang. Bahkan bukan hanya untuk kita sendiri. Melainkan orang terdekat, termasuk keluarga. Mereka akan ikut merasakan kehilangan.

Namun, tidak ada yang disesali dari keputusan-keputusan yang telah dibuat, tetapi justru saya mendapatkan pelajaran bahwa segala sesuatu tidak semestinya dipaksakan. Dan yang terpenting, kita bisa belajar banyak dari pasangan kita, dan semoga mereka juga bisa mendapatkan pelajaran dari hubungan kita.

Tidak perlu mencari siapa yang salah dan siapa yang paling bersalah, sebab itu tidak akan pernah ada habisnya. Saya justru sangat bersyukur kepada orang-orang yang hadir di hidup saya, baik yang menetap ataupun hanya bertamu saja. Mereka mengajarkan pelajaran-pelajaran berharga yang mungkin tidak akan saya temukan di sekolah manapun.

Sekecil apapun perannya, selalu ada alasan dan pelajaran di balik orang-orang yang hadir di hidup kita.

Catatan Akhir

Saya rasa penting membuat catatan-catatan kecil seperti ini, untuk kita bisa melihat apa saja yang berubah selama setahun kebelakang. Supaya kita paham bahwa sebagai manusia, kita akan senantiasa tumbuh dan berkembang serta berusaha menjadi lebih baik lagi. Sebab, menjadi manusia adalah proses tanpa henti, kita akan terus menerus belajar hingga sampai kita mati nanti.

Apa saja hal-hal yang kau syukuri tahun ini?

--

--

Adam A. Abednego
Adam A. Abednego

Written by Adam A. Abednego

Pembaca dan penulis yang sedang belajar mendengar.

Responses (2)