Kalau Sudah Punya Segalanya, yang Dicari Apa?

Adam A. Abednego
5 min readFeb 11, 2020

--

Photo by Dawid Zawiła on Unsplash

Pertanyaan-pertanyaan kehidupan kerap menjumpai saya di sela-sela makan malam yang terlewat akibat kemacetan, alunan lagu sebelum tidur yang diulang-ulang, perjalanan menuju tempat kerja yang dipenuhi klakson dan amarah pengendara roda dua, hingga di sebuah obrolan kencan pertama menjemukan yang mengantarkan lamunan saya pada pertanyaan: Apa jadinya kalau manusia memiliki segalanya?

Isi kepala mengajak saya bervakansi ke masa lalu dengan berjalan di atas kenangan-kenangan tentang keinginan yang telah dan belum sempat digenapi. Tidak jarang saya memaksa dan melakukan apa saja supaya kemauan tersebut terwujud. Di satu malam, saya menginjak lantai rumah yang dibersihkan hampir setiap hari, pendingin ruangan yang sekejap menjilati keringat di sekujur tubuh yang dipenuhi polusi, kemudian saya melucuti pelan-pelan pakaian yang menyelimuti raga dari terik matahari. Sembari bersiap merebahkan diri di atas kasur yang empuk, saya teringat akan hal-hal memalukan tentang diri saya ketika mengharapkan sesuatu⁠ — selalu ingin segera dituruti tanpa memahami konsekuensi serta kondisi:

Beberapa tahun sebelum menyelesaikan sekolah dasar, untuk pertama kalinya saya menghancurkan sofa ruang tamu. Pada waktu itu memiliki sebuah sepeda menjadi tolok ukur bahwa saya mampu mengikuti tren yang diciptakan oleh ruang lingkup sosial kampung saya, seperti tarian-tarian dan hal-hal di luar nalar yang ramai dikonsumsi melalui aplikasi TikTok akhir-akhir ini. Jarum jam sedang berkomplot menuju pukul 5 sore, saya merengek meminta dibelikan sepeda, meski toko-toko sudah mulai merapikan perabot dan dagangannya, saya tidak mau tahu. Pokoknya saya mau sepeda hari itu juga. Saya menangis bak seorang kekasih yang ditinggal menikah oleh pacar dan terpaksa memberikan secara cuma-cuma gedung yang sudah kita DP bersama. Melemparkan beberapa barang-barang rumah dan memberedel busa-busa sofa berwarna merah marun yang pasrah menjadi bulan-bulanan saya. Mama berusaha mencari cara untuk meredam jeritan anak bungsunya. Sebab, kata-kata “besok aja ya, sekarang toko sudah tutup” sudah tidak mempan. Dari mulai mendatangi tetangga yang mengadakan arisan berhadiahkan sepeda sampai mengunjungi toko-toko yang jaraknya lebih dari 10 kilometer telah dilakukan⁠ — hasilnya: nihil. Namun, entah bagaimana caranya, Mama saya berhasil mendapatkan sepeda tersebut. Saya senang bukan main karena keinginan saya dituruti, kemudian bersepeda selama beberapa hari tanpa kenal lelah, lalu saya bosan dan sepeda hasil tangisan seharian penuh itu berakhir di gudang.

Masih banyak kisah-kisah dramatis serupa ketika saya remaja dulu: Meminta PlayStation™ versi terbaru, menuntut dibelikan gawai Blackberry untuk sebatas mengikuti tren yang terjadi, hingga memaksa orang tua saya membelikan laptop dengan alasan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Dari tiap-tiap cerita, saya selalu berharap dengan dikabulkannya keinginan tersebut, saya akan bahagia dan terpuaskan. Mungkin pada saat berhasil terwujud, saya bahagia. Tetapi kebahagiaan yang saya terima ternyata tidak berbanding lurus dengan pengorbanan orang-orang di sekitar dan juga kebutuhan saya di masa depan. Lalu saya kembali berpikir: Mengapa saya memiliki keinginan tersebut? Mengapa manusia sebegitu mendambakan sesuatu namun dibuang begitu saja ketika berhasil mendapatkannya?

Kontemplasi saya berujung pada pertanyaan lanjutan: Ketika kita memiliki segalanya dan mimpi-mimpi perlahan mulai tercapai, apa lagi yang dicari? Sampai batas mana kita merasa selesai dengan apa yang kita inginkan?

Miswanting merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi tersebut. Dalam sebuah tulisan berjudul Miswanting: Some Problems in the Forecasting of Future Affective States oleh Daniel Gilbert & Timothy Wilson, dua orang psikolog tersebut menjelaskan bahwa manusia kerap memiliki kekeliruan antara keinginan dan kebahagiaan di masa depan. Misalnya, kita menginginkan sebuah mobil baru dan percaya bahwa itu akan membuat kita bahagia. Namun, ternyata kebahagiaan yang kita dapat justru tidak seperti apa yang kita bayangkan, malah tidak jarang kita menemukan masalah-masalah baru. Sama halnya dengan gadget baru, rumah baru, bahkan pasangan baru. Mungkin kita berpikir bahwa itu merupakan impian terbesar kita, tetapi nyatanya kesenangan yang didapat lebih cepat menguap daripada air dalam teko yang ditinggalkan berjam-jam di atas kompor yang menyala. Membuktikan bahwa kita sering keliru tentang impian, ambisi, bahkan aspirasi kita sendiri.

“There are several reasons why people mispredict how they will feel about future events. One reason is focalism: we focus too heavily on a single good or bad event when considering how that event will make us feel about our lives.” (src: APA.org)

Manusia terbiasa memproyeksi kebahagiaan mereka berdasarkan apa yang mereka inginkan, dan hasil-hasil dari prediksi yang sering meleset dari ekspektasi membuat saya berani mengambil kesimpulan bahwa kita tidak akan pernah memiliki segalanya. Rasanya sulit membayangkan manusia merasa puas dan cukup. Tetapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa kita acap kali berharap untuk bisa memiliki segalanya. Nyatanya, kita tidak terlalu mahir dalam memprediksi sebuah keadaan di masa depan dalam kehidupan kita.

Salah satu alasan mengapa kita ingin memiliki segalanya⁠ — setelah memenuhi kebutuhan dasar⁠ — adalah karena kita perlu mengisi kekosongan kita sebagai manusia dan kepemilikan, kekuasaan, serta popularitas tidak mampu memenuhi hal tersebut. Mahatma Gandhi pernah berucap bahwa dunia ini sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak untuk keserakahan satu individu. Ketika manusia ‘merasa’ memiliki segalanya, ia akan kembali kosong, kemudian berusaha mengisi lagi kekosongan tersebut. Kalau begitu, berarti kita tidak akan pernah memiliki segalanya, toh kita akan kembali merasa kosong?

Sekarang, mari kita sejenak membayangkan di hadapan kita telah tersedia segala yang kita impikan — kita telah mengantongi semuanya. Maka tidak ada yang menarik yang bisa kita lakukan lagi. Tidak ada yang kita nanti. Tidak ada yang kita pedulikan lagi. Sama seperti nasib sepeda yang dibeli dari hasil jerih payah Mama bertahun-tahun lalu.

Kita tidak akan pernah benar-benar memegang segalanya. Tabiatnya, manusia akan terus berusaha untuk memperoleh sesuatu yang anyar. Ketika satu mimpi tercapai, kita akan kembali membuat mimpi-mimpi baru. Saat keinginan kita terkabul, kita kembali mencari apa lagi yang bisa digapai. Pada detik ini mungkin kita telah memiliki apa yang kita inginkan bertahun-tahun lalu, dan masih kembali mengidamkan sesuatu yang baru. Sebab, definisi segalanya bagi tiap-tiap jiwa akan selalu berubah seiring kita belajar dan menemukan pilihan serta kesempatan lain.

Tidak apa untuk selalu menginginkan sesuatu yang baru. Tetapi hal yang mesti digarisbawahi adalah bukan berapa banyak impian dan keinginan yang telah dan belum tercapai. Melainkan apakah kita mampu memilah keinginan yang sekiranya baik untuk kita di masa depan, dengan tidak tergesa-gesa dalam bertindak dan berkehendak. Kita perlu paham, bahwa manusia kerap salah memprediksi apa yang akan terjadi. Maka dari itu kita mesti mengerti bahwa kita perlu banyak-banyak berkontemplasi, apakah hal yang kita inginkan sekarang dapat berdampak baik dalam kehidupan kita di masa yang akan datang atau justru sebaliknya?

--

--

Adam A. Abednego
Adam A. Abednego

Written by Adam A. Abednego

Pembaca dan penulis yang sedang belajar mendengar.

Responses (2)