Kesepian dan Kebersamaan Merupakan Penderitaan yang Serupa

Adam A. Abednego
4 min readJul 6, 2020

--

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Zine Vol. 2 Menjadi Manusia — Teman Karantina pada tanggal 13 Juni 2020

Photo by Kristina Tripkovic on Unsplash

Seprai kasur yang saya tiduri sekarang sudah seminggu lebih tidak diganti, bau apek selimut dan pewangi ruangan membaur dengan mesra, dan saya kehilangan orientasi kapan terakhir kali mandi — kemarin atau dua hari yang lalu? Masa-masa karantina dihabiskan dengan mencari cara bagaimana menjaga kewarasan dan sesekali berkontemplasi tentang kita yang kerap dilanda rasa sepi. Ketika menyusuri linimasa Instagram, jari saya berhenti di sebuah unggahan film pendek karya sutradara Thibaut Buccellato yang berjudul Someone, Somewhere dan berjumpa dengan percakapan yang begitu membekas, “Loneliness can be beautiful. We have to learn to enjoy it.” Sontak isi kepala saya melayang-layang dan bertanya dalam hati, bagaimana seseorang bisa mencintai rasa sepi jika ia sendiri hadir untuk dibenci?

Saya bukan termasuk dari bagian orang-orang yang pandai menjalin sebuah hubungan, namun menginjak bangku kuliah saya memiliki teman baik: kesepian. Dua semester masa-masa kuliah saya lewati dengan mengisolasi diri di sebuah kamar indekos 3x3 di bilangan Jakarta. Saya memiliki tidak lebih dari 5 kerabat sekelas yang cukup dekat. Setiap akhir pekan, saya pulang ke rumah saudara yang jaraknya kurang lebih 20 km dari kampus. Meski di kota ini saya tidak sepenuhnya sendiri, tetapi saya selalu merasa sepi.

Saya mencoba menelusuri apa yang menjadi penyebab saya mengalami kesepian dan menemukan beberapa hal: Menjadi seorang perantau dari kampung ke sebuah kota besar, beradaptasi dengan jadwal kelas yang lompat-lompat, berpisah dengan sahabat, dan yang utama adalah patah hati. Ketika cinta yang kandas berujung petaka, kesepian selalu menjadi gubuk sederhana yang siap menaungi siapa saja. Patah hati juga memaksa saya untuk membangun ikatan baru tetapi secara bersamaan merasa takut dengan kemungkinan gagal secara emosional. Melihat dari pengalaman di atas, saya menyimpulkan bahwa kesepian dapat muncul dari kehilangan hubungan dengan orang lain atau ketidakmampuan membentuk hubungan baru.

Sedangkan kebersamaan — yang penuh cinta — selalu digadang-gadang sebagai penawar dari kesepian itu sendiri. Mereka memasang papan iklan “Jangan sendirian!” dan “Kau harus mencari cinta!” di gedung-gedung tinggi perkotaan. Dengan ramai, kita memborongnya, sekalipun tanpa potongan harga. Seolah mencintai, dicintai, dan jatuh cinta adalah vaksin dari rasa sepi. Menurut Michelle Lim, Chief Scientific Advisor dari Australian Coalition to End Loneliness, “Loneliness is also more closely linked to the quality of relationships rather than quantity. So, one could be surrounded by others and still feel lonely, or one could be alone, but still feel happy.” Kesepian tidak semata-mata tentang kesendirian atau tidak memiliki teman serta pasangan. Tidak jarang kita menemukan diri kita merasa sepi di tengah riuh keramaian.

Saya begitu mencintai kebersamaan keluarga. Jika ada satu hal yang bisa saya ubah dari tradisi keluarga adalah tentang bagaimana kami (anak-anak) tidak pernah dilatih untuk membagikan momen-momen kedekatan & kerentanan anggota keluarga. Kami tidak pernah saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Saya merasa keluarga hanya sekadar rumah yang ditinggali manusia yang telah kenal lama dengan toleransi yang tinggi, alih-alih sebuah ruang untuk saling memahami emosi satu sama lain. Alhasil, kebersamaan tidak menyelamatkan saya dari rasa sepi yang menyelimuti.

Menuju Hari Valentine 2018, BBC meluncurkan Loneliness Experiment. Mengumpulkan lebih dari 55,000 jiwa dari seluruh dunia untuk bercerita tentang pengalaman kesepian yang mereka alami. Michelle Lloyd, wanita berusia 33 tahun dari London merupakan seseorang yang ramah, senang mengobrol dan begitu menikmati pekerjaannya — ia seperti memiliki segalanya, tetapi tetap merasa kesepian. Dalam sesi wawancara ia berujar, “If I’m in a group I often find myself saying ‘I’m great’ when people ask how I am. It’s almost like an out-of-body experience because I can hear myself saying these positive things, when I’m thinking about how I struggled to get out bed yesterday. It’s the loneliness of knowing how you feel in your own head and never being able to tell people.

Beberapa cerminan di atas yang menjadi alasan mengapa dengan kebersamaan yang ada, saya bisa tetap merasa sepi. Saya tidak memiliki tempat untuk mengadu tentang emosi dan perasaan yang saya miliki, entah karena kurangnya ruang untuk bercerita atau tidak memiliki ikatan yang kuat dengan kerabat dekat. Ketika menghadapi masalah, saya akan sebisa mungkin menahan dan memendamnya sendiri. Padahal mungkin dengan meluapkan yang dirasa mampu meringankan beban yang saya miliki. Belakangan saya mencoba terus belajar meningkatkan kualitas hubungan saya dengan orang lain — juga diri sendiri. Supaya mampu menerima dan mengolah perasaan dan menjadikannya sebagai bahan pembelajaran.

“We can be alone. It’s the society that tells us that we can’t.”

— Someone, Somewhere (2020)

Di tengah kesibukan tinggal di rumah dan karantina diri, sudah saatnya kita mencoba menerima rasa sepi untuk kita bisa lebih bisa menghargai setiap detik yang terjadi. Kesepian dan kebersamaan adalah penderitaan yang sama, jika kita melihatnya sebagai sebuah kegetiran semata; jika kita lupa menaruh rasa syukur di sana. Sebab segala hal yang terbentuk dalam hidup adalah dua sisi koin yang berbeda — dua sisi mata pisau yang sama tajamnya. Kebersamaan bukan jaminan kita terhindar dari kesepian dan tidak semestinya kita memandangnya dari seberapa banyak kerabat, melainkan dari kualitas hubungan yang kita punya. Semoga kita mampu menjadikan kesepian sebagai anak tangga menuju tingkat penerimaan diri yang lebih tinggi dan memetik teladan di sela-sela kepahitan yang diberikan kehidupan.

--

--

Adam A. Abednego
Adam A. Abednego

Written by Adam A. Abednego

Pembaca dan penulis yang sedang belajar mendengar.

Responses (2)