Mencukupi Hal yang Tidak Pernah Tercukupi

Adam A. Abednego
4 min readDec 8, 2019

--

“Jangan lupa atur tempat tujuanmu, supaya kau tahu kemana arahmu melaju.”

Kata-kata tersebut selalu menjadi senjata terbaik untuk menceramahi orang-orang, supaya mereka memiliki tujuan, supaya mereka bekerja keras, supaya mereka memiliki arah kemana harus pergi dan supaya mereka tidak malas-malasan saja, tidak melulu menunggu rezeki dan mengeluh tentang segala hal yang terjadi dalam kehidupan.

Beberapa dari kita tentu saja pernah melakukan hal tersebut: Menentukan tujuan, kemudian mencari arah mana yang harus kita ambil untuk mencapai yang kita ingin tuju. Melewati segala macam rintangan yang ada hingga akhirnya kita menyentuh garis akhir; kita sampai pada tujuan kita. Bahagia. Tentu. Karena sudah berhasil melalui segala macam tantangannya. Kita merasa terpenuhi, lalu kemudian apa?

Lucunya kehidupan selalu menjadi rumah dengan pintu-pintu yang tidak pernah ada habisnya. Ketika kita berhasil membuka yang satu — dalam hal ini cita-cita — selalu ada pintu lainnya yang mesti dibuka. Misalnya, berhasil mendapatkan beasiswa ke sekolah atau perguruan tinggi favorit hingga mendapatkan pekerjaan baru yang kita sukai, lalu tidak lama kita akan kembali bertanya pada diri sendiri, kira-kira kapan ya naik gaji? Ketika pintu berikutnya berhasil terbuka, kita bertanya sekali lagi, apartemen baru kayaknya seru.

Dalam versi suara bisa ditemukan di Podcast Menjadi Manusia

Kita selalu membayangkan realita-realita baru, berharap realita-realita tersebut menjadi realita yang kita jalani sekarang, menjadikannya sebuah kebiasaan. Lalu kita ingin lebih dari itu. Kembali membayangkan sesuatu yang baru, begitu seterusnya.

Katanya, kita harus bisa membedakan mana yang kita butuhkan dan mana yang kita inginkan. Katanya, hidup utamanya selalu mesti mencukupi kebutuhan kita terlebih dahulu. Katanya, keinginan akan selalu bertambah, maka penuhi kebutuhanmu dulu. Tetapi pada aspek apa kita bisa berhasil mencukupi kebutuhan kita? Apakah kita benar-benar merasa cukup ketika kita berhasil memenuhi yang yang kita butuh?

Kata cukup selalu menjadi pertanyaan utama dalam hidup. Sebenarnya pada titik apa kita bisa merasa cukup? Dan sebagai manusia, kira-kira apa yang bisa mencukupi kita? Kenapa kita tidak pernah merasa cukup? Apa sebenarnya ada hal yang dinamakan cukup? Apakah kita mampu mencukupi kecukupan kita?

Kalau kehidupan melulu tentang rasa cukup. Sepertinya beberapa dari kita tidak akan pernah takut ketika ada saatnya pembagian rapot nilai waktu sekolah dulu. Kita tidak akan pernah merasa seberapa menakutkannya ketika hal itu datang. Sebab, kita tahu, nilai cukup tidak akan pernah cukup bagi orang tua yang mengidam-idamkan nilai sempurna. Walaupun ada beberapa dari mereka yang legowo-legowo saja, rasanya mereka selalu menaruh harapan lebih kepada anak-anaknya. Untuk bisa menjadi juara kelas, atau setidaknya tidak menjadi yang pertama dari bawah. Itu sudah cukup. Tetapi kita paham betul itu tidak akan pernah cukup.

Ini yang menyebabkan kita selalu bertanya-tanya kepada kata dan rasa cukup. Mengapa kata dan rasa cukup diciptakan jika memang kita tidak akan pernah merasa cukup? Mengapa harus ada nilai cukup, jika yang terbaik adalah ia yang mendapatkan jauh lebih besar dari nilai rata-rata? Mengapa kita selalu merasa bahwa kita pantas diberi upah lebih, padahal mungkin yang sekarang sudah cukup?

Masing-masing dari kita memiliki tujuan hidup yang berbeda — gunung berbeda yang mesti di daki, destinasi vakansi yang bervariasi, juga tipe-tipe pasangan yang beraneka ragam. Mereka yang sedang bergumul mencari pekerjaan yang tepat, bisnis yang sedang dibangun, cinta yang sedang dikejar, dan berbagai hal yang mesti dicari. Lalu, kita mendapatkan hal tersebut hanya untuk tersadar bahwa itu semua baru saja permulaan. Ada passion dan gaji yang mesti digali ketika bekerja, ada manusia-manusia yang harus diurus ketika merintis bisnis, dan perasaan yang harus dijaga ketika menjalin hubungan asmara. Lalu kita memulai lagi.

Ada sebuah kutipan yang berbunyi, “Kalau manusia bisa merasa cukup, maka kita sudah merasa cukup sejak lama.” Rasanya, sebagai manusia, kita memang diciptakan untuk tidak cepat merasa puas, tidak pernah merasa cukup atas apa yang telah kita raih. Kita diciptakan untuk berperang perihal siapa yang lebih berkuasa. Kita diciptakan untuk membuktikan siapa yang menjadi juara. Tetapi apakah semua manusia diciptakan untuk menjadi juara? Kalau iya, mengapa harus ada juara 2 atau 3?

Tetapi pertanyaannya adalah bukan kapan kita akan merasa cukup, melainkan apakah kita mampu berterima kasih atas hasil dari kerja keras kita untuk menyentuh hal tersebut. Kita boleh mengejar hal-hal lainnya. Tapi sejenak kita pejamkan mata, mengingat kembali atas kerja keras kita hingga mampu bertahan sampai hari ini, mampu memenuhi segala ekspektasi yang terlewati dan berkata kepada diri sendiri: Terima kasih sudah mampu bertahan hidup berhari-hari. Sekarang istirahat, kau masih aku butuhkan esok pagi.

(Tulisan ini juga dapat dinikmati dalam versi suara di Podcast Menjadi Manusia, atau bisa menuju tautan berikut.)

--

--

Adam A. Abednego
Adam A. Abednego

Written by Adam A. Abednego

Pembaca dan penulis yang sedang belajar mendengar.

No responses yet