Paparan Gelap

Adam A. Abednego
2 min readMay 28, 2019

--

Photo by Guzmán Barquín on Unsplash

Sudah berjam-jam kita bicara perihal tidak ada. Tak mungkin hujan turun jika tak suka tanah. Dia rela menjatuhkan diri dari tingginya harga diri ke dasar hati. Lalu kita sama-sama tak mengerti mengapa hujan saat itu berhenti.

Sudah berapa kali kau menertawakan rindu, tanyaku. Kau sendiri malu pada pintu kamarmu, dia paham betul tentang gelisah yang kau teteskan tiap malam. Kau selalu mencabut kunci itu supaya cahaya dari lubangnya mampu tersenyum dan meredam jeritan air matamu.

Aku sudah berkali-kali merindukan rindu, katamu. Aku senang berada di tengah-tengah, di antara awan kelabu dan taman beralaskan pipimu. Aku selalu menemukan dirimu bersedih pada daun yang memisahkan diri dari puisi dan orang yang gemar membaca waktu. Aku ingin menjadi seperti nelayan yang belum mengenal laut. Dia tidak pernah berada di tengah-tengah kecewa saat pulang membawa jala tanpa ikan di dalamnya.

Doa yang kau tumpuk menjadi satu dalam lemari itu sudah berdebu. Bahkan Tuhan tak sudi mengabulkan semua itu, karena sudah tidak ada lagi pembeda dari kata tinggal dan tanggal. Tiap-tiap kalimatnya terdapat senyuman-senyuman terpaksa yang sekarang berubah menjadi serpihan kayu yang
digergaji dengan sebilah pengharapan tumpul. Kau tidak mengerti mengapa kita dipertemukan saat sunyi. Ketika kita masih sanggup melawan sepi.

Tugasku adalah meyakinkanmu, kasihku. Kau adalah bulan penuh, dan cahayanya akan sangat megah, oleh sebab kegelapan abadi sepertiku.

--

--