Parasite, Pandemi, Swaisolasi, dan Garis Tipis Kesenjangan Sosial yang Membatasi
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Menjadi Manusia dengan judul Parasite, Korona, Swaisolasi, dan Garis Tipis Kesenjangan Sosial yang Membatasi pada tanggal 27 Maret 2020
Hari ini tepat 2 minggu saya telah mengisolasi diri. Kegiatan sehari-hari saya selain rebahan adalah menghadiri meeting daring dan mengerjakan pekerjaan dari rumah. Sisanya saya habiskan untuk bermain videogame, menonton film, sampai membaca teori-teori konspirasi yang tidak masuk akal. Saya juga merasa swaisolasi di situasi sekarang ini sangat menarik, saya seolah-olah sedang menyelamatkan banyak nyawa dengan hanya berdiam diri di rumah dan tidak melakukan apa-apa — yang ternyata tidak mudah. Setelah mendapatkan informasi dari WHO bahwa COVID-19 sudah memasuki fase pandemi, saya urung untuk keluar rumah. Sebab, saya cukup paham konsekuensi yang terjadi jika saya bandel dan meremehkan situasi ini. Belajar dari Italia, masyarakat yang kerap menyepelekan membuat negara tersebut kewalahan mengendalikan keadaan. Pasien positif yang melebihi tenaga medis dan ketersediaan fasilitas kesehatan membuat angka kematian semakin memuncak. Namun, sampai hari ini, di Indonesia (Jakarta khususnya) masih banyak orang-orang yang tidak mengerti — atau pura-pura tidak paham — dengan situasi yang berbahaya ini. Pemerintah mulai memobilisasi segala tenaga untuk menanggulangi — yang sebenarnya cukup terlambat. Merujuk kasus dan kesalahan Italia, mestinya kita bisa belajar betapa berbahayanya penyebaran COVID-19 jika kita tidak segera bertindak. Tapi tak apa, katanya, tidak ada kata terlambat, ya ‘kan?
Sesekali saya membaca berita dan berakhir mengutuk orang-orang yang masih saja sulit untuk tinggal di rumah, padahal jelas-jelas menurut WHO, dengan tetap tinggal di rumah kita mampu menghentikan penyebaran. Tetapi ada perspektif lain yang saya terima dari kejadian ini, bahwa tidak semua orang mampu berdiam diri. Bukan karena tidak mau, melainkan tidak bisa. Ada tanggung jawab besar yang mesti ia capai dibanding tinggal di rumah saja. Selain tenaga medis yang mengerahkan sumpahnya untuk membantu yang terinfeksi dan membutuhkan bantuan, aparat yang membantu mengamankan keadaan, ada juga masyarakat dengan ekonomi rendah yang harus tetap mencari nafkah untuk sanak saudara di rumah. Saya jadi berpikir, apakah kegiatan tinggal di rumah ini semata-mata untuk segelintir orang yang mampu saja? Apa yang bisa dilakukan mereka yang mesti mencari sesuap nasi untuk sehari-hari?
Di sela-sela aktivitas swaisolasi, tiba-tiba saya teringat film yang menyabet 4 piala Oscar sekaligus beberapa waktu lalu, Parasite. Secara garis besar, film tersebut berusaha mengkritik sistem kapitalisme dengan menegaskan pesan dari sebuah garis tipis antara orang kaya dan orang miskin. Adegan yang paling berkesan adalah saat hujan turun deras. Bagi keluarga si kaya, itu merupakan sebuah anugerah. Selain membasahi halaman rumah, langit yang cerah pada keesokan hari membuat mereka bahagia. Sementara untuk keluarga miskin harus berjuang menyelamatkan diri, rumah, dan barang-barang mereka dari banjir besar, hingga berdesakkan mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Rasanya adegan tersebut sangat menggambarkan situasi saat ini. Bagi orang-orang yang memiliki privilese, berdiam di rumah merupakan saat untuk bersantai, refleksi diri, meditasi, dan terhubung kembali dengan sekitar. Beberapa bahkan berterima kasih karena dengan adanya pandemi COVID-19 ini mampu membuat bumi kembali bernafas. Padahal, menurut Gavin Schmidt, seorang direktur dari NASA Goddard Institute for Space Studies mengatakan bahwa polusi hanya beralih ke pemakaian energi lainnya saja, “Listrik masih hidup 24 jam, penggunaan internet makin tinggi, dan pembangkit listrik menyumbang sepertiga emisi karbon,” tegasnya.
Melihat kenyataan bahwa tidak semua orang mampu mengakses Netflix sembari duduk di sofa yang empuk dan berselancar di media sosial kapan pun, tanpa mesti pusing memikirkan lauk-pauk ketika lapar menyerang. Bagi mereka yang mesti tetap bekerja supaya bisa makan, tinggal di rumah bukan sebuah pilihan. Beberapa teman saya membagikan cerita bahwa pedagang kaki lima dan makanan kecil hampir sama sekali tidak menemukan pembeli. Mereka harus menerima realita dan pulang ke rumah dengan dagangan yang masih utuh. Tetapi ini bukan untuk mengecam orang-orang yang memiliki privilese, karena toh mereka bekerja keras untuk memperoleh itu, melainkan untuk melihat dari sudut pandang lainnya dan memberikan sedikit empati. Kemudian saya bertanya kepada diri sendiri: Apakah film Parasite merefleksikan yang terjadi pada masyarakat? Atau justru masyarakat yang terpengaruh oleh apa yang ada di film tersebut? Ah, lagi pula, saya merasa tidak pantas mengkritik sebuah situasi kesenjangan sosial di tengah pandemi yang terjadi. Lebih-lebih, saya menulis ini pun terbantu dengan privilese yang saya miliki — duduk nyaman di depan laptop, camilan yang selalu sedia, dan kasur empuk dengan guling yang siap saya peluk kapan pun. Tetapi, jauh daripada mengecam sistem-sistem yang telah ada, saya ingin menyampaikan bahwa kita-kita yang memiliki privilese supaya mampu menggunakannya secara bijak, sehingga kita tidak turut mengorbankan diri sendiri serta orang-orang di sekitar. Langkah pertama adalah jika kita bisa berdiam diri di rumah, lakukanlah, tidak perlu ngeyel dan banyak alasan ini-itu. Kalau masih mampu, kita bisa membantu tenaga medis, pasien-pasien, serta orang-orang yang kurang mampu dengan cara menyumbangkan materi semampunya. Jika tidak, cukup tetap berdiam di rumah. Tanpa perlu memperkeruh suasana dengan menyalahkan satu sama lain. Dalam kondisi ini kita perlu tetap bersama-sama, meski dengan jarak yang ada.
Kita juga mesti memahami dari kacamata yang berbeda, mengenai apakah segala kebijakan-kebijakan yang kita kerjakan mampu benefisial bagi orang lain. Memang sulit untuk menyenangkan segala pihak dan tentu kita tidak bisa menyelamatkan semua orang. Namun, setidaknya kita telah mencoba membantu sekuasanya dan berkontribusi sebisanya. Bagi mereka yang sulit untuk tinggal di rumah oleh sebab pekerjaan, masih ada cara-cara untuk kita bisa tetap menjaga diri — dengan menjaga jarak dari orang lain, rajin mencuci tangan, dan tidak sering-sering menyentuh wajah. Sebab penyebaran terjadi melalui hidung, mata dan mulut. Bagi orang-orang yang mampu mengisolasi diri di rumah, berbahagialah, karena dengan berdiam di rumah, kita telah menyelamatkan banyak jiwa.