Perpustakaan Barang Hilang
“Menyimpan barang bukan cuma tentang menjaga bentuk, tetapi juga menjaga sisa napas yang tertinggal di permukaannya,” kata Pak Wahid sambil mengelus jam tangan ayahku yang berhenti tepat pada pukul 02.37. Ia menaruhnya di meja kerja penuh buku dengan ketelitian yang sama seperti saat menaruh kacamata bulat lusuhnya. Pak Wahid bilang hari ini adalah hari ulang tahunnya yang entah ke berapa dan ia telah menghabiskan seluruh hidupnya menjaga perpustakaan ini.
Aku diajak berkeliling di antara lorong-lorong rak yang menjulang tinggi dengan suara langkah melambat, seolah takut membangunkan ingatan yang tertidur pada setiap barang-barang yang kulewati. Ketika aku berbelok ke kanan, kutemukan sebuah ruang kecil dengan gorden kusam berwarna hijau zamrud dan meja kayu bundar dengan laci-laci sempit bernomor. Di atasnya terdapat katalog usang sebesar buku akuntansi dengan daftar nama barang yang tertulis dalam tulisan tangan khas. Telepon tua di sudut ruangan berdering tiga kali. Pak Wahid mengangkatnya tanpa tergesa, membisikkan “Ya, kami punya,” lalu mencatat sesuatu di kertas kuning. Mata tuanya menatapku penuh, “Seseorang dari Jalan Putih Salju mencari foto yang hilang sewaktu pindah rumah. Foto terakhir dengan ayahnya.” Ada getaran halus pada suaranya, seperti senar gitar yang dipetik dari nada minor.
Pak Wahid membuka sebuah pintu menuju ruangan berikutnya. Udara di sini lebih dingin. Sebagian dari kotak-kotak kayu yang berjajar rapi itu tertutup debu tipis. Ia membuka kotak nomor 22 dan memberikan isyarat padaku untuk mengambil barang di dalamnya. Kutemukan secarik kertas dengan tulisan tangan miring gemetar: “Nak, maafkan ayah yang terlambat menyadari–” dan sisanya robek. Aku tak ingat pernah memilikinya atau membacanya, tapi entah kenapa hatiku seperti mengenali setiap hurufnya. “Barang yang hilang selalu meninggalkan jejak,” Pak Wahid berdiri di belakangku, suaranya tiba-tiba seperti bisikan angin. “Lihat tanganmu,” katanya lagi, dan kutemukan bekas luka berbentuk bulan sabit di telapak kiriku.
Di lorong paling ujung, tepat di bawah jendela tinggi yang menampakkan langit sore, sebuah rak tinggi menyimpan gaun pengantin yang terbungkus plastik rapi, sepasang tiket kereta menuju Surabaya, dan sepucuk surat tanpa nama penerima. Tanganku gemetar saat melihat nama kekasihku, Mar Lina, pada halaman koran berita kecelakaan; tanggal yang tercetak adalah tiga hari sebelum pernikahan kami.
Pak Wahid menawarkanku secangkir teh beraroma melati dari poci retak yang ajaibnya masih bisa menahan air. “Tidak semua yang hilang bisa dikembalikan,” ujarnya pelan, matanya menerawang jauh ke arah jendela, “tapi setidaknya di sini, mereka tidak benar-benar lenyap.” Kuseruput teh yang terasa seperti memori masa kecil dan seketika aku paham mengapa perpustakaan ini tersembunyi di sudut kota yang terlupakan.
Malam semakin larut ketika aku memutuskan untuk pulang. Pak Wahid memberikan sebuah kartu perpustakaan dengan namaku di atas tinta yang masih basah. “Datanglah kapan saja, tetapi ingat: setiap kali mengambil sesuatu, kau harus meninggalkan sesuatu yang lain.” Aku mengangguk dan mengambil jam tangan ayahku yang kini berdetak lagi. Namun, arah jarum jamnya berputar mundur. Di ambang pintu kayu dengan cat terkelupas itu aku menoleh sekali lagi ke arah Pak Wahid yang kini tampak lebih muda dari saat aku masuk tadi. Ia tersenyum seolah telah menungguku selama bertahun-tahun. “Sampai jumpa,” kataku, tak yakin apakah aku akan berani kembali. Ia menggeleng lembut, “Tidak ada perpisahan di sini, hanya jeda antara dua pertemuan,” jawabnya seraya menutup pintu perpustakaan perlahan.
Malam itu, kusimpan jam tangan ayah di laci kamarku dan menemukan secarik kertas terselip di balik bantal. Tulisan tangan yang sangat kukenal: “Jangan takut kehilangan. Takutlah jika tak pernah merasakannya.” Aku tak tahu apakah itu pesan dari ayah atau dari Pak Wahid. Saat kubaca ulang, huruf-hurufnya perlahan memudar. Dari jendela, bulan separuh tampak seperti senyum malu di langit malam– mengingatkanku pada luka di telapak tanganku yang kini tak lagi tampak.