Setiap Keluarga adalah Keluarga (Tidak) Ideal dengan Caranya Masing-Masing
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Menjadi Manusia Zine Vol. 9: Adakah Ramah di dalam Rumah? pada tanggal 29 April 2021
Melihat kondisi keluarga kamu sekarang, apakah kamu mau jika diberi kesempatan untuk memilih keluarga yang berbeda? Beberapa akan menjawab iya, sisanya tidak. Mereka yang merasa ingin memilih sendiri keluarganya biasanya memiliki latar belakang keluarga yang tidak baik — bahkan cenderung toksik. Namun, jika kita mengacu pada keluarga yang berarti hubungan antar manusia yang memiliki hubungan darah, sayangnya kita tidak akan pernah bisa memilih di keluarga seperti apa kita ingin dilahirkan dan dibesarkan.
Sedari kecil, saya dan keluarga selalu menyempatkan diri untuk tamasya ketika menginjak libur panjang sekolah. Biasanya, ayah saya sudah merencanakan destinasinya dan kami berempat tinggal ngikut-ngikut saja. Layaknya sebuah keluarga pada umumnya, tiap-tiap perjalanan selalu muncul masalah-masalah: mulai dari cekcok tentang hotel sampai berantem membahas hal-hal di luar nalar. Menginjak dewasa, pada suatu liburan keluarga ada pembahasan tentang kebiasaan ayah ketika mengajak keluarga liburan setiap tahun. Kakak saya merasa dulu ayah terlalu memaksakan hal tersebut, padahal finansial keluarga tidak memadai. Ayah saya berdalih bahwa itu adalah cara dia untuk membangun ikatan keluarga dan mendidik agar anak-anaknya mengetahui dunia luar. Di satu sisi saya setuju dengan ayah saya — meski saya tidak begitu suka jalan-jalan — liburan keluarga membuat saya kaya akan pengetahuan. Namun, kakak saya juga benar. Memaksakan kehendak ketika kondisi tidak memadai merupakan hal yang tidak seharusnya dinormalisasi. Kami berbedat panjang. Lalu akhirnya kami mencoba sepakat ketika saya berkata, “Ya udah, kan itu udah kejadian. Kalau ngerasa itu sesuatu yang salah, jangan sampai nanti kejadian di keluarga kita masing-masing nanti.” Di situ saya sempat sedikit berpikir: apakah keluarga saya sekarang merupakan keluarga yang bahagia atau ideal? Jika saya memiliki keluarga yang berbeda, apakah saya tetap menjadi diri saya yang sekarang? Saya bertemu dengan banyak orang yang memiliki latar belakang keluarga yang berbeda-beda dan merasa beruntung memiliki keluarga saya yang sekarang, sebab masih banyak di luar sana yang memiliki keluarga yang tidak utuh dan jauh dari kata baik-baik saja. Saya sempat bertanya-tanya: apakah mereka yang memiliki latar belakang keluarga yang tidak baik, sudah pasti tidak bahagia? Bagaimana jika lapisan pertama dari yang mestinya menjadi support system mereka justru bukan menjadi contoh yang baik dan tidak sepenuhnya mendukung?
Saya jadi teringat sebuah kalimat pembuka dari novel Anna Karenina oleh Leo Tolstoy “Happy families are all alike; every unhappy family is unhappy in its own way“. Tolstoy menggambarkan bahwa untuk membentuk sebuah keluarga bahagia, ada beberapa aspek kunci yang harus diberikan: kesehatan, keamanan finansial, dan kasih sayang. Jika salah satu saja dari ketiga hal tersebut tidak terpenuhi, ada kemungkinan keluarga tersebut tidak akan bahagia. Meski tiga hal itu adalah hal dasar, melihat keadaan keluarga-keluarga saat ini, berarti tidak semua keluarga mampu memberikan itu semua. Saya juga menemukan ada sebuah riset dari Duke, Lazarus dan Fivush: “Knowledge of Family History as a Clinically Useful Index of Psychological Well-being and Prognosis: A Brief Report” yang menyimpulkan bahwa cara membangun keluarga yang bahagia adalah dengan membantu anak-anak mengembangkan diri mereka dengan membangun waktu dan ritual keluarga bersama-sama. Artinya, kebersamaan keluarga yang aman dan nyaman mampu membentuk sebuah budaya keluarga yang membuat siap saja di dalamnya bahagia.Namun, apakah itu berarti untuk bisa bahagia, kita membutuhkan keluarga yang bahagia? Bagaimana bagi mereka-mereka yang memiliki keluarga yang tidak utuh?
Saya memiliki seorang teman ketika SMP yang baru saya ketahui kalau keluarganya tidak utuh justru ketika hadir di sebuah acara reuni kecil-kecilan. Ayah dan ibunya bercerai dari ia SD. Ibunya menikah lagi dan ia mesti tinggal bersama ayah dan saudara tirinya. Lalu, saya memberanikan diri untuk bertanya tentang apa efek dari keluarga yang tidak utuh tersebut terhadap dirinya. Ia terkekeh, “Sekarang sih udah bisa gue ketawain. Dulu mah boro-boro.” Ia berkata. “Dulu gue benci banget sama keluarga gue, kayak mikir — kenapa ya punya keluarga gini amat. Tapi sekarang malah ngerasa itu yang ngebentuk gue sekarang. Kalo nggak kayak gitu mungkin gue gak jadi gue yang sekarang.” Saya cuma bisa tertegun dan tersenyum kecil mendengar jawaban tersebut.
Saya tidak tau apa yang akan saya lakukan jika saya berada di posisi teman saya tersebut. Memiliki keluarga yang sangat jauh dari kata sempurna. Saya yakin sekali ia tidak membenarkan kalau keluarga yang seperti itu adalah sebuah kewajaran — kalau mungkin ia punya pilihan, pasti ia ingin memiliki keluarga yang harmonis. Namun, sikap menerima dan berdamai dengan segala yang dilalui membuat saya menyimpulkan, bahwa memang kita tidak bisa memilih keluarga yang kita inginkan, tetapi kita tetap bisa memilih respons dan reaksi kita dalam kehidupan sehari-hari. Kalau saat ini kita berada di sebuah keluarga yang tidak baik-baik saja, selalu ingat bahwa kita tidak bisa memilih dilahirkan dan dibesarkan di keluarga seperti apa, maka apa yang terjadi dengan latar belakang mereka adalah bukan sepenuhnya salah kita. Saya buta tentang apa yang dirasakan oleh mereka yang memiliki keluarga yang tidak baik-baik saja, tetapi yang saya tau, setiap keluarga memiliki masalahnya sendiri-sendiri; every family is dysfunctional in its own way; setiap keluarga adalah keluarga yang tidak ideal dengan caranya masing-masing.
Referensi:
The Anna Karenina principle: A concept for the explanation of success in science. https://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/1104/1104.0807.pdf
Knowledge of family history as a clinically useful index of psychological well-being and prognosis: A brief report. https://psycnet.apa.org/record/2008-07317-012