tuntutan-tuntutan hidup

Adam A. Abednego
2 min readOct 25, 2022

--

Photo by Eyasu Etsub on Unsplash

kurebahkan diriku & semua mimpi-mimpiku sekali lagi setelah senin menghajarku berulang-ulang. bau apak seprai & pewangi ruangan murahan berperang — aku tidak peduli siapa yang menang, indra penciumanku tetap jadi korban. kumatikan ponselku sebelum melipat tangan, muncul cerminan seseorang yang sering menyabotase pencapaiannya sendiri. tidak banyak yang kubaca hari ini selain adu jempol warganet & tanda-tanda rahasia yang kau kirim lewat pesan singkat. aku lelah berjam-jam memilih makanan di jam makan siang. aku ingin rekeningku lepas dari resesi. aku butuh teman sekaligus ingin sendirian. aku ingin bebas dari telepon nomor tak dikenal tanpa biaya tambahan. apakah itu sesuatu yang sulit didapatkan sekarang?

jika tumbuh dewasa adalah berarti membunuh anak kecil dalam diriku, aku ingin selamanya berlarian mencari teman-temanku yang bersembunyi sebelum azan magrib berkumandang. aku lebih memilih dirundung oleh mereka karena agamaku berbeda dibanding harus setiap hari bangun pagi & pulang pagi, hanya untuk mengejar oase yang cuma ilusi. aku rindu setiap hari menulis puisi untuk seseorang, menyisipkan surat cinta di tasnya, menunggunya di depan gerbang sekolah sampai dijemput ayahnya, & menanti ucapan selamat malam darinya hanya untuk menemukan ia kembali dengan mantan kekasihnya. di antara menjadi dewasa & patah hati, aku tau mana yang lebih kubenci.

debu di langit-langit kamarku nyaru dengan masa depanku yang seharusnya berpikir bagaimana cara segera melunasi cicilan, membayar pajak, mencari pasangan yang seiman, menikah hanya dihadiri keluarga & kerabat dekat, membeli perabot rumah, biaya sekolah anak, pensiun dari pekerjaan, & mewariskan trauma-trauma kepada anak-anakku kelak. aku yakin tidak ada orang yang mau membenci dirinya sendiri, tetapi aku justru semakin menemukan alasan mengapa kita harus membenci diri sendiri: sebab 70% tubuh manusia adalah air, sisanya masokis. kita rindu untuk menderita; derita yang melahirkan manusia — apakah kau lupa apa yang kau lakukan ketika pertama kali hadir di dunia?

di balik jendela, hujan turun tanpa menuntut apa-apa. ia hanya datang & menyajikan kesedihan-kesedihan yang senantiasa. ia tidak peduli seberapa dalam ibu kota membenci dirinya. sebab, ia tau, ibu kota benci akan dirinya sendiri. mestinya aku tau dari dulu alasan mengapa aku tidak bisa pergi dari kota ini. tuhan, aku cuma ingin hidup tenang — begitu doaku tiap malam. tidak pernah ada jawaban. mungkin doaku ada di antrean paling akhir. maka kuganti doaku malam ini: tenang, tuhan. aku cuma ingin hidup.

kubuka kelopak mataku yang sembab — malam ini aku cuma butuh tambahan dosis melatonin.

--

--

Adam A. Abednego
Adam A. Abednego

Written by Adam A. Abednego

Pembaca dan penulis yang sedang belajar mendengar.

Responses (1)